Buka mata, buka telinga, tuk kenali dunia

Minggu, 03 Januari 2010

ARTIKEL PENDIDIKAN

ARTIKEL

Dilema Tanpa Tanda Jasa

Ada peribahasa klasik yang menyebutkan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Sekilas, bisa membayangkan bukan? Sebuah pepatah parody yang syarat akan makna. Pesan dalam kalimat tersebut menekankan bahwa seorang guru tidak boleh lebih ceroboh disbanding seorang murid. Segala tingkah laku dan tutur katanya ibarat lokomotif yang selalu diikuti oleh gerbong-gerbongnya. Mengisyaratkan bahwa guru merupakan sosok yang menjadi teladan dan pendidik karakter bagi peserta didiknya.

Entah berapa banyak permasalahan-permasalahan yang dihadapi guru setiap harinya. Problema mengajar, status kepegawaiannya dalam sebuah institusi, maupun teguran asam manis dari para orang tua peserta didik sudah lumrah dalam mengisi setiap detik waktunya.

Dengan adanya permasalahan-permasalahan yang timbul justru memberikan anggapan-anggapan miris mengenai guru. Sedikit sekali masyarakat yang mengerti bahwa pengorbanan jiwa dan raga yang diberikan oleh seorang guru merupakan sesuatu yang tidak ternilai harganya. Guru sebenarnya tidak pernah menginginkan balas jasa dari yang telah dilakukan. Keadaanlah yang menuntut sebagian kecil guru tidak sepenuh hati melaksanakan kewajibannya, mulai dari daya dukung orang tua dan masyakat yang masih minim, keadaan birokrasi yang berbelit-belit, belum lagi dengan kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi.

“Selain itu, anggapan bahwa para orang tua anak didik adalah orang yang telah membayar upah para guru sehingga mereka berhak menuntut macam-macam pada pihak sekolah jika terjadi sesuatu yang tidak beres pada diri anak-anaknya” Amiruddin (2008). Padahal jika kita hitung waktu siswa di sekolah rata-rata paling lama sembilan jam, jadi sisanya di luar sekolah, seperti di rumah, masyarakat maupun ditempat-tempat pendidikan nonformal lainnya. Tetapi bagaimana tanggapan wali murid? Faktanya, semua tanggung jawab pendidikan anaknya dibebankan pada sekolah, khususnya guru. Lantas dimana peran serta orang tua, pemerintah, media massa, serta lembaga nonformal lainnya? Adilkah bila semua yang terjadi pada siswa hanya guru yang disalahkan atau hanya menjadi tanggung jawab guru?

Problema lain yang yang dihadapi oleh segelintir guru adalah mengenai statusnya sebagai guru bantu atau guru honor yang masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Permasalahan utamanya adalah bagaimana guru bantu itu mendapatkan jaminan kerja yang memadai dan dapat memperbaki kesejahteraan mereka. Yang terlihat selama ini, terjadi perbedaan yang signifikan, khususnya antara guru bantu dengan guru PNS. Padahal kewajibannya sama, namun hak (gaji) jauh berbeda. Guru bantu dalam sebulan rata-rata memperoleh gaji sebesar 300-900 ribu rupiah, sedangkan guru PNS memperoleh sebesar 2,5-3 juta rupiah perbulan. Melihat kenyataan tersebut terbesit idealisme bahwa kepuasan tidak dapat dinilai dengan uang.

Setiap kebijakan ditetapkan pasti terdapat celah baik dan buruknya. Begitu pula dengan pengadaan guru bantu. Sisi positifnya, antara lain dapat memberi peluang kerja yang luas bagi lulusan pendidikan guru dan memberi bekal lebih mendalam sebagai bekal dalam penyeleksian calon guru PNS. Sedangkan sisi negatifnya adalah mereka terkesan memberikan pengajaran apa adanya dan tidak ikhlas karena dianggap sebagai pekerjaan sampingan menutupi waktu kosongnya setelah lulus sarjana. Kemudian, juga ada rasa kekhawatiran dipermainkan oleh sekolah , terutama masalah tunjangan yang seharusnya didapat dari pemerintah. Ada kecenderungan terjadi praktik korupsi yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan mengurangi jumlah yang semestinya mereka terima. Oleh karena itu, mereka seharusnya menuntut hak dan nasibnya selama ini yang telah termarginalkan dan tidak hidup selayaknya.

Pemerintah hendaknya mengurangi jurang ketimpangan antara antara guru PNS dan guru non PNS. Selain karena tuntutan perut dan mulut, pemenuhan kebutuhan tersebut juga digunakan untuk menunjang profesionalisme sebagai guru, seperti membeli buku bacaan. Dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja yang telah ditetapkan untuk pendidikan sebesar 20 % , dapat digunakan untuk memberikan penghargaan terhadap guru yang berprestasi tanpa ada dikotomi antara guru PNS dengan guru non PNS sehingga guru lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas dirinya.

Adanya berbagai tantangan dan proemtantika yang dihadapi oleh para guru, harus disikapi dengan cerdik. Jangan sampai para guru harus putus asa mengahadapinya lantas lari dari masalah, tetapi akan lebih bijak lagi bila semua permasalahan diselesaikan dengan kepala dingin sampai diperoleh solusi yang tepat.

Istilah pahlawan tanpa tanda jasa nampaknya terlalu kerdil dan tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan perjuangannya. Karena pada prinsipnya, profesi seorang guru, lebih terhormat dari pada seorang Presiden. Jika tidak ada guru, mustahil ada pemimpin di negara ini. Bagaimana bisa menjadi seorang kepala negara kalau tidak sampai tamat sekolah dasar ataupun sekolah menengah. Contoh diatas memberikan gambaran betapa pentingnya peran seorang guru. Sudahilah penyebutan istilah itu kepada guru. Biarkan ia berjuang tanpa istilah dan sesuai dengan apa yang telah melekat di dalam sanubarinya. Mungkin tanpa istilah perjuangan dan pengorbananbya akan lebih bermakna secara tulus dan ikhlas. Diakui atau tidak, upaya yang kita raih saat ini, tidak dapat disangkal bahwa ada kontribusi dari orang lain, baik secara langsung ataupun tidak. Tetapi kontribusi seorang guru jauh lebih besar dari itu.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar anda

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda